Apapun bentuknya, bagiku hidup adalah anugrah.
Hari Kamis di bulan April, aku terbangun mendengar suara gaduh orang tuaku yang sedang mengobrol dan membuat sarapan.
Kakak laki-laki dan perempuanku berlarian untuk bersiap-siap berangkat sekolah. Aku mengenakan rok yang baru kubeli minggu kemarin dan membayangkan hari yang indah nanti. Aku menyantap sarapan bersama keluargaku.
Lalu ibuku menawarkan diri untuk mengantarku. Biasanya Ayahku yang mengantarku. Ia mengatakan ingin berjalan-jalan untuk sedikit berolahraga, maka kukira tak masalah siapapun yang mengantarku. Ayah bersikukuh ingin mengantarku--ia merasa tidak enak pagi ini.
Tapi aku dan Ibuku sudah setuju untuk berangkat bersama.
Sepanjang perjalanan menuruni bukit ke sekolahku, kami membicarakan tentang tubuh manusia yang bagaikan mesin pembuat cokelat--bila kita memasukan bahan yang salah, seperti alkohol atau narkoba, maka coklat yang dihasilkan akan rusak.
Meski terasa aneh, tapi pembicaraan seperti itu membuatku selalu ingat nasihat yang disampaikannya.
Untuk mencapai sekolahku, kami harus menyebrangi jalan. Kami bergandengan tangan, dan saat itulah kejadian buruk itu terjadi.
Sebuah mobil datang dengan kecepatan tinggi.
Ibu bermaksud mendorongku ke pinggir jalan, tapi aku telah terlebih dulu berlari menyingkir. Saat aku berbalik, aku melihat ibuku terlempar ke udara, tangannya tersilang di depan tubuhnya dan matanya tertutup. Semua tampak bagai gerakan lambat. Ibuku mendarat dengan kepala terlebih dahulu membentur aspal. Darah mengalir dari lukanya.
Aku berteriak-teriak histeris, sementara beberapa orang menelepon polisi dan Ayahku. Sesaat kemudian, ayahku datang dengan mobilnya. Wajahnya tampak ketakutan. Aku dan ayahku mengikuti ambulans sampai ke rumah sakit.
Sementara menunggu di ruang tunggu, aku merasa tak percaya ini terjadi. Aku merasa ibuku celaka karena diriku. Jika saja ia tak mengantarkan aku ke sekolah pagi itu, mungkin ini tak akan terjadi. Akhirnya perawat memanggil kami. Dengan perasaan takut ibuku tak akan selamat, aku berlari dan memeluk ibuku. Kepalaku mulai terasa pusing, dan perawat membimbingku duduk.
Siang harinya, kami menjemput kakak-kakakku. Kakak perempuanku menjerit dan menangis saat mengetahui kecelakaan itu. Sedangkan kakak laki-lakiku hanya terdiam. Malamnya, kami semua menjenguk pergi menjenguk ibu, dan besoknya di sekolah, semua membuat kartu ucapan lekas sehat untuknya.
Beberapa hari kemudian, keadaan ibuku sudah lebih baik, sepertinya. Dokter membolehkannya pulang. Saat pulang sekolah, aku menemui ibuku sedang membereskan rumah. Aku terkejut! Menjatukan semua bawaanku dan berlari memeluknya. (Oh, coba aku dapat memeluknya sekarang!)
Beberapa buklan berlalu, dan ia menjadi sehat seperti sedia kala. Kami sekeluarga berusaha membahagiakan dia lebih dari sebelumnya. Musim panas tahun itu, kami bertamasya ke Disneyland. Ia sangat senang hingga berjalan di depan kami seperti anak kecil. Aku senang sekali saat itu.
Lalu di suatu hari gelap berawan di bulan Oktober, tiba-tiba saja ia jatuh sakit. Tubuhnya demam dan wajahnya tampak kesakitan. Kami memberinya selimut tebal karena suhu tubuhnya berubah sangat dingin. Karena hanya mengira ia hanya menderita sakit gigi, ia hanya mencabut gigi di dokter gigi. Beberapa bulan kemudian, penglihatannya mulai kabur, lalu ia mulai tak dapat merasakan makanan.
Aku ketakutan sengan apa yang dialami ibuku. Aku hanya ingin ia kembali sehat seperti dulu.
Segera setelah itu, ibuku mulai kehilangan keseimbangan bila berjalan. Tapi ia masih berusaha datang ke makar kami untuk memberi kecupan dan ucapan selamat malam.
Akhirnya, ia tak dapat menegakkan kepalanya. Ia harus berbaring di tempat tidur seharian dengan rasa sakit yang mendera. Aku tahu ia ketakutan. Tapi ia tak ingin kami tahu, agar kami tidak terlalu khawatir!
Di akhir bulan Maret, aku menginap dalam acara ulang tahun temanku. Keesokan harinya, pagi -pagi benar, ibuku dilarikan ke rumah sakit.
Aku tak menyadari kalau itu akan menjadi hari terakhirnya di rumah. Coba aku menyadarinya, karena bila demikian, aku akan menghabiskan waktu di rumah bersamanya hari itu. Tapi aku selalu mengunjunginya di rumah sakit setiap hari. Bila akan pulang, aku akan mengatakan, "Aku mencintaimu, Mom. Saat kau pulang nanti, kita sekeluarga akan berlibur ke Hawaii, ok?"
Tes, biopsi, dan pemindaian yang dilakukan para dokter tidak berhasil menemukan penyebab penyakitnya. Ibu telah menjalani banyak operasi, biopsi, dan sinar X, tapi mereka tetap tak dapat menemukan penyebabnya. Tidak lama kemudian, ibuku kehilangan kemampuan berbicara.
Tapi sebelumnya, ia sempat mengatakan kapada kami bahwa ia merasa penyakit yang dideritanya diakibatkan luka di kepala dari kecelakaan dulu. Kami benar-benar frustasi karena tak mampu mandapatkan bukti medis yang dapat membantu pengobatannya.
Suatu hari, ibuku berhenti bernapas. Para dokter memasangkan alat bantu pernapasan yang disambungkan ke tenggorokannya. Selama beberapa bulan, ia hidup dengan alat bantu itu.
Setiap malam aku selalu membayangkan betapa kesepian ia di kamar rumah sakit. Aku selalu takut menghadapi apa yang akan terjadi esok hari. Kadang, saat aku menjenguknya, bial aku menatap matanya, aku dapat merasakan kenyamanan luar biasa di hatiku.
Aku merasa tak ada seorang pun mampu menyakiti kami.
Saat kami meninggalkan kamarnya, aku dapat melihat senyuman yang ia usahakan sekuat tenaga dan selalu terpatri dalam ingatanku. Selama delapan bulan ibuku dirawat di rumah sakit, pikiranku tak pernah lepas darinya: di sekolah, di rumah, malam hari, di rumah sakit. Aku hanya ingin ibuku kembali. Tak ada yang lebih kuharapkan--hanya ibuku, ia satu-satunya yang kuinginkan.
Ia segalanya bagiku dan aku sangat menginginkannya kembali!
Ia sahabatku
Ia pahlawanku
Ia satu-satunya ibuku
Waktu aku kecil, aku ingat ada temanku yang kehilangan ibunya. Saat itu aku berpikir, itu tak mungkin terjadi padaku. Tapi sekarang, dunia nyata memang berbeda dengan apa yang diharapkan.
Setelah kunjungan-kunjungan penuh kesedihan dan air mata, akhirnya para dokter mulai kehilangan harapan. Ayahku harus membuat keputusan terbesar sepanjang kehidupan keluarga kami. Para dokter menyarankan melepas alat bantu pernapasan untuk melihat apakah ibuku dapat bernapas tanpa alat itu.
Ayahku mencoba mengerti keinginan ibuku, dan ia mengambil keputusan terberat untuk membiarkan nasib yang menentukan. Ia meminta dokter melepaskan alat bantu itu. Kami semua berharap ibuku dapat belajar bernapas tanpa bantuan dan ia dapat pulang.
Saat dokter melepaskan alat bantu pernapasan, kami semua datang ke rumah sakit. Ia tampak sedikit lebih senangkarena tak ada lagi alat bantu yang menempel di lehernya. Dalam hati, kami tahu apa yang akan terjadi. Kunjungan itu dipenuhoi tangisan. Saat tiba giliranku, aku menggenggam tangannya dan menciumnya dengan lembut.
Aku menatapnya, mungkin untuk terakhir kalinya. Aku melihat pipinya. Pipi yang selalu kucium saat akan pergi tidur atau saat aku sakit. Ciuman yang selalu membuatku merasa lebih baik. Kemudian aku menatap matanya. Aku dapat merasakan kenyamanan dalam matanya.
Aku merangkulkan lenganku di tubuhnya, dan berusaha melakukan yang sama. Tapi ia tak mampu merangkulku. Aku menciumnya sekali lagi dan mundur ke sudut dimana aku memikirkan seluruh kebersamaan yang telah kami lalui.
Lalu, tiba saatnya kami harus mengucapkan selamat tinggal. Aku tak ingin mempercayainya, tapi aku tahu apa yang akan terjadi. Saat mengucapkan selamat tinggal, aku melihat senyumannya--senyuman yang mampu membawa matahari keluar dari awan gelap. Dan, itulah yang terjadi padaku. Aku selalu mengingat senyauman itu seumur hidupku, dalam jiwaku--selamanya.
Seraya meninggalkan kamar, aku menengok ke belakang dan melihat ibuku yang terbaring sedang menatapku dengan tatapan yang penuh kedamaian. Lengannya terkulai lemah di sisi tubuhnya, dan wajahnya masih menampakkan senyuman lembut. Aku meniupkan ciuman terakhir, lalu berbalik pergi.
Di malam yang sama, awan hitam menyelimuti hatiku dan kilat menyambar-nyambar dalam pikiranku. Ibu bagaikan matahari yang terbenam. Kilauan pelangi setelah hujan reda, bersatu dengan lautan. Sekarang ia menjadi matahariku yang menyingkirkan awan mendung.
Sebenarnya aku ingin menyesali diri, tak ingin melepaskan kepedihan yang kualami, tapi kupikir ibuku pasti akan berkata, "Amber, apapun bentuknya, hidup itu sebuah anugrah.
Jalanilah hidupmu hingga hari terakhir. Nikmati hidupmu, jangan si-siakan satu hal pun!"
Kata-kata itu menuntun hari-hariku. Kata-kata itu yang membuatku masih hidup hari ini. Aku ingin menikmati anugrah hidup yang di berikan ibuku. Setiap tarikan nafasku adalah napas untuknya. Setiap langkahku adalah langkahnya. Setiap senyumanku adalah senyumannya.
Aku mempersembahkan setiap hari yang kujalani untuknya.
Dan sekarang, apapun yang terjadi, aku akan selalu mengingat senyumannya, dan aku akan tersenyum untuk mengenangnya. Senyuman kami yang akan menyingkirkan awan hitam dan mencerahkan dunia dengan sinar matahari!
Amber Kury, 11 tahun
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment