Bagiku ini adalah pijakan perdanaku di bumi Nanggroe Darussalam, yang kata banyak orang merupakan salah satu daerah anti maksiat, suci lagi bersih dari dosa. Aku yakin karena itulah kenapa aku ada disini sekarang. Dengan membawa sebuah misi untuk mengotori kesucian surgawi di tempat ini.
Akupun tersenyum. Sepintas kulihat sepasang gadis berkulit sedikit gelap. Mereka sedang menanti seseorang yang ingin mereka jumpai. Mereka asyik berbincang, gadis yang menurutku lebih manis dari temannya itupun serius mendengarkan, sambil merapikan penutup kepala yang rusak tersapu angin. Aku tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Yang aku tahu mereka pasti gadis muslim. Seperti yang pernah kulihat direkaman Mr. Jhon Abraham, sang master of mission. Ketika kami " Team of Mission " diperkenalkan dan dibina untuk terampil dalam melaksanakan misi kristenisasi yang akan disebarkan ke Negara-negara Islam. Dalam pelatihan itulah aku mengenal budaya Islam, symbol dan cara berpakaian mereka yang selalu membuat kami tertawa.
" They are so crazy. Kulit mereka pasti tidak bagus, selalu ditutupi padahal suasana lumayan panas. " Mark, sobat karibku selalu berkomentar seperti itu setiap kali tayangan ‘ Moslem's World ‘ ditampilkan.
" Makanya gadis mereka itu tidak laku di dunia internasional, ketutup kali. " Zeke sang playboy profesional itupun ikut berkomentar.
Dan aku hanya tersenyum, selalu sepert itu. Aku juga tidak mengerti kenapa aku merasa kesejukan tersendiri disaat aku melihat tayangan itu. Seperti saat ini, aku merasa ada sesutau yang kembali, tapi aku tak tahu apa itu. Padahal tercatat ini adalah langkah pertamaku disini. Mobil Volvo merah marun itupun tiba, Mr. Richard menyambutku hangat.
" Welcome to Aceh, Harry. Aku harap kau betah disini. "
" Thank's, sir. " Jawabku datar.
" Bagaimana keadaan Mr. Jhon? " Tanyanya.
" He's fine. "
" Kau sangat beruntung Harry, aku yakin kau pasti siswa andalan Mr. Jhon, terbukti dengan hadirmu disini. " Sambil tersenyum bangga Mr. Richard menepuk bahuku pelan, dan senyum itu kulihat begitu menyimpan misteri, namun aku tak tahu apa itu. Aku yakin semua akan baik-baik saja.
Lalu, " of Course. " Jawabku mantap, akupun tersenyum tulus. Yup itu adalah pernyataan yang sangat benar pikirku. Karena memang aku adalah salah satu siswa teladan di Team itu. Mr. Jhon selalu mengatakan itu " You're the best, Harry. " Dan aku selalu bangga dibuatnya. Harry Mc Hadden, itulah namaku. Aku tak tahu apakah nama itu adalah nama pemberian orang tuaku atau tidak. Aku tak tahu apakah aku terlahir dari sebuah keluarga lengkap yang dihuni oleh kasih sayang sepasang Mom dan Dad atau aku hanyalah anak yang terlahir dengan kerintihan seorang Mom saja tanpa harapan. Entahlah, yang jelas aku sama sekali tidak memiliki memori untuk itu, aku tidak ingat langkah kecilku berlari, aku tidak ingat suara bisikan kasih sayang seorang Ibu. Yang aku tau hanyalah, aku pemuda yahudi yang diasuh oleh pastur Mr. Jhon Abraham. Namun, mata dan rambutku yang hitam pekat kelihatan sedikit berbeda dari teman-temanku membuat aku sedikit risih karena aku merasa begitu asing. Tapi jauh di sudut hatiku rasa itu berbeda, keanehan ini menjadikan satu tanda tanya yang sampai saat ini belum kutemukan jawabannya.
" Ayo kita jalan, sebelumnya aku akan membawamu keliling terlebih dahulu, sebelum kita berhenti di Hermes Palace Hotel, tempat kau tinggal selama kau berada di Aceh ini. " Mr. Richard membuyarkan lamunanku.
" It's nice, sir. Aku juga ingin melihat daerah ini. " Jawabku singkat.
" Oce, let's go. "
Kami lalu berangkat meninggalkan Bandara Iskandar Muda yang begitu banyak peminatnya setelah tiga tahun terakhir ini sejak bencana besar Tsunami melanda daerah suci ini, seakan Aceh menjadi objek wisata yang termasyhur. Perbincanganpun terus berlanjut. Banyak hal yang kutanyakan pada Mr. Richard, karena usiaku yang beranjak 15 tahun tidaklah sangat matang untuk mengemban misi ini.
Terkadang ribuan pertanyaan menghantuiku, kenapa mereka terlalu cepat memberi tugas ini padaku, padahal aku merasa belum matang untuk ini. Tapi Mr. Jhon Abraham begitu mempercayaiku. Dia sangat yakin aku mampu melaksanakan titahnya. Memang aku akui, kegesitanku dalam menanggapi satu masalah merupakan kelebihanku diantara teman-teman yang lain. Aku juga tidak tahu, materi-materi mengenai permasalahan umat muslim yang diberikan sangat aku pahami, seperti terhafal dipikiranku. Seperti misalnya, ketika Mr. Jhon menanyakan seperti apa proses pengajian anak-anak yang berlaku di kalangan umat Islam, dan aku menjawabnya dengan sangat betul. Applause menggema untukku. Aku sendiri bingung kenapa aku bisa menjawabnya, kala itu aku tersenyum. Lalu, akupun memberi ide untuk terlebih dahulu mendekati anak-anaknya, karena anak-anak adalah sasaran empuk untuk misi ini. Karena mereka masih terlalu polos dan suci. Forum menerima penuh usulku. Dan karena itulah aku berada disini sekarang. Beberapa menit kemudian, kami melewati sebuah bangunan indah yang sangat megah berdiri. Sebuah mesjid. Aku termangu.
" Itu dia mesjid Baiturrahman. A great mosque in Aceh. " Mr. Richard seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan. " Aku yakin kau pasti sudah melihatnya, bukan? ".
" Yup, Mr. Jhon hampir setiap kali ia memperlihatkannya. Sebagai sasaran utama katanya. " Jawabku datar.
" Right! ". Jawab Mr. Richard mantap.
Kesejukan itu kembali menyiramiku. Sejak masa pelatihan aku sudah merasakan hal yang sama, tapi selalu tak jelas bentuknya. Karena aku juga bingung apa itu. Tapi, setelah aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bangunan reliji itu, rasa itu mulai samar bentuknya, hampir teraba tapi tetap saja membuat kepalaku pusing. Akupun menggeleng keras agar pikiran itu segera hilang. Lalu, aku melihat kesekeliling untuk segera menghapus penat yang kurasakan, namun rasa itu semakin menggebu. Aku mengenal jalan ini. Aku merasa pernah berjalan berulang kali disini. Penuh canda, penuh tawa dan penuh kedamaian. Tapi, lagi-lagi bentuk itu tidak sempurna.
" Harry, are you ok? " Richard mulai mencium gelagatku.
" Yes, I'm ok, sir . " Jawabku menetralkan.
" Aku yakin kau pasti sangat lelah. Baiklah aku akan mengantarmu ke hotel, agar kau bisa istrirahat dan esok adalah hari perjuanganmu. "
" aku pikir juga seperti itu." Setujuku.
Setibanya di hotel, aku sedikit merasa lega. Sesaat ku temani Richard berbincang dengan gadis receptionist. Aku mengambil kunci yang diberikan oleh gadis itu, tak sengaja aku melihat nama yang tercantum di pakaiannya 'Maria', aku tak yakin itu nama aslinya. Langkah ku percepat, karena kelelahanku mulai bertambah.
Aku disapa lembut oleh seorang gadis pelayan hotel yang tampak jelas garis wajah Acehnya, namun ia tidak seperti gadis yang kutemui di bandara tadi, rambutnya tergerai lepas dengan sedikit warna merah ditengahnya. Aku kembali tersenyum. Dia pasti korban teamku, batinku berbisik . Kemudian aku membuka pintu kamarku dan segera beristirahat.
Esok paginya, pukul 08.00, Mr.Richard kembali menjemputku, Kali ini dia bersama tiga orang bule lainnya, aku yakin pasti mereka juga dari NGO yang sama dengan Richard. Setelah " say hello " sebentar, kami melanjutkan perjalanan. Dan kami melewati sebuah mesjid yang lebih kecil dari mesjid yang kulihat kemarin. Tanpa sadar aku berkata, " Stop here Richard! Ada hal yang harus aku teliti. " Alasanku. Entah kenapa magnet itu sangat kuat. Mesjid Darul Makmur Lambaro Skep, sekilas kubaca papan yang terdapat di depan mesjid itu. Kembali ku termangu. Rasa itu semakin berbentuk, aku terus berjalan dengan memperhatikan secara seksama mesjid itu. Sekilas aku melihat dua orang pemuda yang usianya lebih mapan dariku, berdiri di tangga mesjid memberi senyum tulus padaku. Aku pun membalas senyum itu. Lalu, pandanganku terpaku pada tangga dimana mereka berdiri, aku terpaku. Sepertinya aku melihat sesosok anak kecil di sana yang aku yakin itu adalah aku, berlari berkejaran bersama teman yang lain, namun aku ragu.
" Harry. " Panggilan Richard kesekian kalinya baru kusadari.
" What are you doing here ? Kita harus segera pergi ke lapangan. Jangan buang waktu, karena kau datang kemari bukanlah hanya untuk memperhatikan bangunan yang tidak berarti apa-apa buat kita. ". Tampak gurat kemarahan di wajah pemuda matang itu. Richard adalah salah satu alumni tempatku dididik, sejak tiga tahun lalu ia telah berada di sini, tepatnya setelah tsunami melanda negeri ini dan itulah gerbang lebar buat para team kami.
" Apa yang engkau katakana ? Bangunan yang tidak ada artinya? Tapi aku merasa tempat ini sangat berarti dan punya sejarah yang sangat istimewa. " Jawabku mantap.
" Apa? Bagaimana mungkin terjadi, kau terlahir dan dibesarkan di Amerika, kau berdarah Yahudi, tidak mungkin kau mengenal mesjid, terlebih lagi daerah ini. "
" Entahlah Rich, tapi aku yakin perasaan ini tidak salah. Give me a chance. " Mohonku.
" Tidak sama sekali, ayo kita berangkat sebelum semuanya terlambat. Kalo tidak..." Richard mulai memberii ancaman padaku. Namun tiba-tiba...
" Hanif? " Seseorang lelaki perawakan khas Aceh dan sedikit bergaya Arab memanggil nama itu. Aku tak tahu siapa yang dia maksud, tapi aku juga tidak mengerti mengapa aku menoleh.
" Hanif? Kamu benar Hanif kan? Santri ustadz yang paling shalih dan pintar. " Sambungnya.
" Apakah yang kamu maksud itu saya? " Tanyaku ragu.
" Iya dong, masa' orang lain. Nama kamu kan Hanif, Muhammad Hanif. "
" Apa yang kau katakan tuan. Kau pasti salah orang, namanya Harry Mc Hadden. Bukan Hanif atau apapun itu. Harry, ayo kita pergi sekarang. "
" Hanif? Benarkah kau itu sayang. " Seorang ibu kira-kira berumur lima puluh tahun kembali memanggilku dengan nama itu. Aku semakin yakin. Terlebih ketika aku melihat mata ibu itu, mata yang selama ini hilang dari lamunanku. Aku kembali terpaku, namun kali ini rasa itu tinggal sekian persen akan sempurna. Tapi aku masih terdiam.
" Hanif, kau adalah anakku ini ibumu...apa kau tidak mengenalku lagi? Aku yakin kalau kau masih hidup dan ternyata Allah mengabulkan do'a ibumu ini, kau kembali anakku..." Ratapan ibu itu sangat menyentuh hatiku.
" Hanif, benar apa yang beliau katakan, kau memang Hanif, anak yang hilang dibawa pergi oleh mereka para misionaris. " Tambah sang laki-laki itu, yang mengaku sebagai guru pengajianku. Dan aku, apa yang mereka perbincangkan, ini menjadi bukti yang kesekian kalinya bahwa aku benar anak negeri ini. Lalu, aku menoleh ke Richard dengan tatapan penuh harap.
" Rich, aku merasakan hal yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya, aku bahagia bertemu mereka. Aku rindu tatapan mata ibu itu dan aku yakin kedatanganku kemari bukanlah langkah pertamaku, tapi kedatanganku ini membuktikan bahwa aku kembali. " Aku kembali menoleh kepada ibu itu dan sekejab aku sudah berada dalam pelukan hangatnya, yang sudah lama tak kurasakan.
Dan aku semakin yakin pelukan ini yang benar-benar hilang selama ini. Rasa itu telah sempurna. Aceh aku telah kembali, menjadi pemudamu yang setia.
Darussalam, 10 juni '07
By : Gadis Intifadha
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment